Siapapun yang pernah naik
busway (di Jakarta tentunya) pada saat jam berangkat atau pulang
kantor, pasti merasakan padatnya Jakarta. Ya minimal di dalam bus lah.
Selama kerja praktek di Jakarta, tiap hari dari rumah simbah ke kantor,
busway jadi andalan. Alasan saya senang dengan mode transportasi ini
apalagi, kalau bukan kecepatannya sehingga mobilisasi rumah-kantor cukup
10 menit (bandingkan dengan Met*o Mi*i dengan jarak yang sama butuh
satu jam!).
Tapi, ya itu tadi, padatnya itu yang jadi masalah. Kalau cuma nongkrong di bus, 10 menit cukup. Menunggu di haltenya itu yang lama. Satu pengalaman saat berangkat ngantor, saya sempat ngendon di halte “Cuma” satu jam. Itulah Jakarta.
Sisi menariknya, kita bisa melihat berbagai macam karakter orang. Dari yang saya lihat, saya golongkan dalam beberapa kategori:
1.
Tukang serobot antrian. Golongan ini paling menyebalkan. Datangnya
belakangan, masuknya duluan. Mending kalau cakep, cewek pula, kalau
brewokan? Guemess rasane! Manusia tipe ini hanya bisa eksis di
halte kecil yang tidak ramai. Bila di halte transit yang lebih besar dan
lebih rame, wow, bisa-bisa terancam eksistensinya karena seleksi alam.
2. Tukang mengeluh dan komplain. Ini sih biasa. Buswaynya juga kadang lama datangnya, dan awak busnya makin lama makin galak.
3.
Tukang duduk. Biasanya anak muda. Dengan cueknya duduk meski dia
melihat ada ibu hamil, orang sakit, atau lansia berdiri di depannya.
Umumnya manusia cuek seperti ini pura-pura tidur atau keasikan
menerawang sambil mendengarkan musik dari iPod-nya. Untungnya saya tidak
seperti itu
Selain gemar memberi jatah kursi saya (saya jarang duduk, sungguh!)
kepada golongan yang membutuhkan seperti yang saya sebutkan tadi, saya
juga kadang memberikan kursi pada mbak-mbak ayu yang kelihatannya butuh
tempat duduk. Karena kebiasaan ini saya pernah dapat sebuah senyuman
manis dari seorang mbak yang manis (ya, sekali).
Masalah
kursi cukup krusial dalam urusan busway. Lantas, kalau tidak dapat kursi
bagaimana? Ya berdiri dong! Atau bawa kursi sendiri. Kalau tidak
dimarahi.
4. Tukang serobot (di dalam bis). Bentuknya macam-macam. Bisa menyerobot kursi ataupun handle.
Ini juga termasuk jenis manusia menyebalkan yang bisa memancing emosi.
Suatu ketika di sebuah halte, saya melepaskan handle dan mundur
selangkah dari tempat saya berdiri untuk memberi ruang kepada penumpang
yang baru masuk. Eh, seorang mas yang baru saja masuk tiba-tiba saja
memegang handle yang tadinya saya pegang. Sambil menyikut saya lagi!
(tapi saya tahu dia tidak sadar dan tidak sengaja, memang bukan
kapasitasnya mungkin untuk berbuat baik kepada sesama :p). Tinggallah
saya berdiri sambil ditemani rasa dongkol dan rasa sesal.
Sejauh pengamatan saya,
manusia Indonesia masih saja kurang disiplin. Kalau perilaku seperti ini
diteruskan, saya tidak yakin bus dan halte-halte yang megah itu masih
bertahan hingga 5 tahun lagi. Bagaimana dengan monorel? Saya kira sama
saja kalau manusianya sendiri tidak merasa perlu untuk memperbaiki
kualitas kedisiplinannya.
Untuk jenis
manusia-manusia yang saya sebut dalam poin 1-4, saya menghimbau agar
para pembaca tidak meniru atau memasukkan diri ke dalam jenis manusia
seperti itu. Malah, jenis manusia itu tidak perlu dilestarikan. Biar
seleksi alam yang menghapus eksistensi mereka.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar